OPINI : BUDAYA DAN GERAKAN LITERASI “SEBUAH TITIK BALIK IPMIL RAYA UNHAS”



BUDAYA DAN GERAKAN LITERASI
“SEBUAH TITIK BALIK IPMIL RAYA UNHAS”
Opini
Oleh : Fajar Sidiq Limola


MUKADDIMAH IPMIL KONSERVATIF

Mendengar Ipmil  yang terlintas langsung dalam pikiran masyarakat umum secara garis besarnya merupakan wadah berkumpulnya mahasiswa Wija To Luwu[1] dimana seluruh mahasiswa  ataupun pelajar yang sedang menuntut ilmu diluar daerah seperti Makassar dan wilayah lainnya, kemudian penilaian yang kurang berkenan adalah lembaga tercinta bagi para pemuda asal tanah luwu sangat sering  bahkan terlalu sering di framing lembaga adu otot, membuat onar, pelaku penyerangan dan semua yang berkaitan dengan konflik kedaerahan. Dewasa kini para pelaksana organ ataupun lembaga harus meninggalkan kisah-kisah konservatif tersebut, budaya berkonflik ini harus dikampanyekan untuk tidak diteruskan lagi apabila terus mempertahankan kondisi demikian maka tidak salah lagi jika lembaga Ipmil nantinya akan terus tertinggal.

Penulis percaya seluruh lapisan warga Ipmil Raya Unhas merupakan insan-insan terbaik dari Tanah Luwu yang bukan kebetulan saja melanjutkan study kuliah di kampus nomor 1 di Indonesia Timur, melainkan pada hakikatnya semua dari kita adalah cerdik dan cerdas, manusia yang cerdas adalah mereka yang lebih mengedepankan akal pikirnya dibandingkan bersikap bar-bar untuk itu perlu diciptakan kebiasaan-kebiassan untuk mendukung dan menjaga kharismatik sebutan manusia cerdas. Salah satu hal paling fundamental yang harus dilakukan adalah menciptakan lingkungan yang berbudaya pada sektor  literasi.

PENGERTIAN-PENGERTIAN

Sebelum bicara jauh tentang penciptaan budaya yang membangun untuk lembaga ipmil mari lebih mengetahui tentang literatur dan budaya. Secara bahasa, kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Buddhaya yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi dimana artinya adalah segala hal yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Dalam hal ini, budaya sangat berkaitan dengan bahasa atau cara berkomunikasi, kebiasaan di suatu daerah atau adat istiadat. Sedangkan menurut  Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, pengertian budaya adalah segala hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.


Menurut Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski, terdapat empat unsur budaya, yaitu;
  1. Sistem norma, yaitu sesuatu yang memungkinkan terciptanya tindakan kerjasama sekelompok manusia dalam upaya menguasai alam sekitarnya.
  2. Organisasi ekonomi, yaitu sesuatu yang memungkinkan manusia untuk bertahan hidup dan memiliki kesejahteraan.
  3. Lembaga pendidikan, yaitu sesuatu yang memungkinkan terjadinya proses sosialisasi norma dan nilai sosial di dalam masyarakat.
  4. Organisasi kekuatan, yaitu sesuatu yang memungkinkan terjadinya inisiatif untuk mengorganisir kehidupan sosial.

Kemudian wujud yang dihasikan dari budaya adalah Ide atau gagasan, Aktivitas  dan Hasil budaya. Untuk menghasilkan budaya yang bisa terus terjaga ada beberapa faktor pendukung terciptanya budaya yaitu Niat masyarakat untuk melestarikan budayanya, adanya gererasi penerus yang mau meneruskan suatu budaya, adanya rasa cinta terhadap budaya di dalam diri manusia, keinginan masyarakat untuk menjaga kelestarian suatu budaya agar tidak hilang dan terjadinya perubahan lingkungan hidup yang mendukung berkembangnya suatu budaya.

Selain bisa menghasilkan budaya yang berlangsung, ada juga faktor yang bisa mengakibatkan budaya bisa terhambat yaitu masuknya budaya asing yang kemudian menggeser eksistensi budaya lokal, masyarakat tidak memiliki keinginan untuk melestarikan suatu budaya, generasi penerus yang sudah tidak perduli dengan keberadaan suatu budaya, dan adanya anggapan bahwa budaya tertentu sudah kuno sehingga tidak ada keinginan untuk melestarikannya.


Wells (1987), salah satu ahli dalam dunia literasi menyebutkan bahwa terdapat empat tingkatan literasi, yaitu: performative, functional, informational, dan epistemic. Orang yang tingkat literasinya berada pada tingkat performatif, ia mampu membaca dan menulis, serta berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan (bahasa). Pada tingkat functionalorang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti membaca buku manual.  Pada tingkat informational orang diharapkan dapat mengakses pengetahuan dengan bahasa. Sementara pada tingkat epistemicorang dapat mentransformasikan pengetahuan dalam bahasa. Empat tingkatan literasi menurut Wells, menempatkan kemampuan membaca dan menulis pada tingkatan pertama sebagai dasar untuk lanjut pada tahapan tingkat selanjutnya yang lebih mencoba untuk menghadirkan manfaat berliterasi dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat.

Berikutnya Istilah literasi dalam bahasa latin disebut sebagai Literatus yang artinya adalah orang yang belajar. Sehigga jika berbicara mengenai budaya dan gerakan literasi adalah pembiasaan secara terus menerus menciptakan insan terpelajar kaitannya dalam ber-Ipmil yaitu diskusi, bedah buku, atau seluruh yang berkaitan dengan semangat ber-Ilmiah.

HARAPAN  DAN TITIK BALIK 

Indonesia memberikan ruang bagi pemuda yang mau menggelorakan semangat berliterasi hal ini terbukti dengan semakin semraknya kegiatan-kegiatan komunitas atau lembaga dalam melaksanakan kegiatan yang berbau literasi, sebagai contoh di kota Makassar muncul komunitas seperti Sikola Cendikia Pesisir[2], Sikola Kaki Langit, Pajappa Bangkeng, Sekola Inspirasi Alam, Komunitas Peduli Anak Jalanan, dan lainnya. Semangat ini muncul kembali hal ini wajar mengingat sebelumnya Indonesia dan sejarahnya sangat kental dengan budaya literasi paling tidak mulai dari perlawanan R.A Kartini melalui surat-suratnya yang akhirnya dikenal dengann buku Habis Gelap Terbitlah Terang dalam menuntut wanita untuk memperoleh kebebasan  sehingga pemikiran kartini mengubah pandangan masyarakat belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa dan mengkritik sistem feodal di Pulau Jawa . kekuatan literasi teerlihat juga pada sosok R.A Tirto Adhi Suryo[3] melalui tulisan-tulisannya bersama surat kabar Medan Priyayi yang dibentuk pada tahun 1907 memberikan inspirasi bagi pemuda untuk bersatu melawan kolonialisme Belanda.

Pada hal yang lebih besar Komunitas-komunitas literasi ketika sudah mulai betul-betul bergerak akan saling terikat dan menjadi simpul dalam gerakan masyarakat sipil yang mengorganisasikan diri, membangun perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia itu sendiri, seperti yang pernah dilakukan oleh pustakawan Mao Tze Sung yang membangun kelompok literasi bernama Masyarakat Kajian Rakyat Baru (Hsin-min Hsueh-hui) dengan melakukan diskusi, pengajaran, membuka toko buku, serta perpustakaan keliling dan kelak menjadi simpul dalam Gerakan 4 Mei 1919 yang berhasil menggulingkan para birokrat fasis Republik China.

Melihat perjalanan panjang literasi yang bermanfaat ini sudah sepantasnya sebagai anak muda yang menggambarkan semangat harus menjaga eksistensi literasi, ipmil haru tampil menjadi inisiator atau penggagas dari gerakan literasi tersebut  suatu penanda lumbung manfaat , mengingat masa lampau bahwa To Luwu kaya akan khasanah literasi , seperti contoh sastra Epik La Galigo yang mutlak kita harus bangga pemilik warisan tersebut. Mari membangun Ipmil yang berkemajuan dari sini jadikan ini sebagai titik balik dari pola pikir yang sempat beku karna Tana Luwu Wanua Mappatuo Na Ewai Alena.

(Telah dipaparkan penulis dalam Materi PRA-LK IPMIL RAYA UNHAS VIII bertempat di Makassar pada 6 November 2019)

[1] Sebagian lagi menggunakan kata BIJA , penggunakan kata tersebut yang berarti keturunan. Wija turunan dari aksen Bugis sedangkan Bija Turunan dari aksen Tae
[2] Penulis merupakan Batch 1 dalam program meretas ketertinggalan pendidikan untuk wilayah pesisir dimana pulau binaan SCP ini yang pertama adalah Pulau Langkai yang merupakan pulau terluar kota Makassar.
[3] R.A Tirto kemudian dalam kumpulan buku Tetralogi Buru gubahan Pramoedya Ananta Toer digambarkan sebagai Pemuda bernama Minke.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Opu Daeng Risaju: Lentera Terang Pejuang Perempuan Sulawesi Selatan

Jejak Peristiwa 1 Januari

Kilas Balik Kereta Api di Tanah Celebes