Laporan Bacaan : Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (Bagian Pelabuhan)



LAPORAN BACAAN

Judul                          : Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17
Penulis                        : Adrian B. Lapian
Bagian Ketiga            : Pelabuhan

Oleh : Fajar Sidiq Limola

Displaying the historical narrative of the archipelago will lead to shipping and commercial activities in the archipelago, this is a history that has a pattern of linkages between one region to another, to connect each of these areas the port plays a very central role as a place of entry and exit of goods. The figure of the Harbormaster also has a role that is no less important, it is undoubtedly the continuity and success of the shipping and commercial process of a port.

Key Word: History, Harbor, Harbormaster, and Shipping



Pelayaran di Nusantara sudah sangat lama berlangsung di nusantara salah satu momentum puncak terjadi pada abad ke-16 dan 17, para pedagang dating dari berbagai penjuru menyempatkan untuk hadir dan melakukan aktifitas perdagangan di sepanjang jalur nuantara. Banyaknya sumber daya alam yang melimpah dijadikan komoditas membawa nusantara sebagai panggung penting dalam perdagangan.

Munculnya pelabuhan – pelabuhan penting di nusantara sebagai sarana perdagangan menjadikan wilayah – wilayah sekitar pelabuhan menjadi tujuan para pedagang dari Arab, India, Sri Lanka, Pegu, dan Siam dimana kelompok ini disebut oleh Anthony Reid sebagai negeri di atas angin. Selain itu bangsa Eropa seperti Belanda dan Portugis, serta bangsa Cina menjadikan nusantara lokasi paling strategis dalam melakukan aktifitas perniagaan.

Akses masuk ke nusantara telah banyak dilakukan pelaut-pelaut sebelumnya hanya saja untuk melakukan aktifitas dagang dan membawa masuk keluar barang harus memasuki setiap pelabuhan. Pada bab ini akan memberikan gambaran mengenai hal demikian, bagaimana pelabuhan memainkan peran penting pada proses pelayaran dan perniagaan.

1.      Letak dan Fungsi Pelayaran
Ramai riuhnya sebuah pelabuhan ditentukan oleh banyak faktor, salah satu diantaranya yaitu faktor ekologi. Pelabuhan tidak hanya dijadikan tempat berlabuh, tetapi lebih dari itu dijadikan juga sebagai tempat berlindung dari ombak, angin, dan arus yang kuat.  Di antara tempat terbaik untuk dijadikan pelabuhan yaitu sebuah sungai, meskipun memiliki bentuk yang sempit sehingga membatasi perkembangan pelabuhan tetap saja melalui sungai para penduduk pedalaman membawa hasil sawah dan kebunnya ke pantai.

Para kapal-kapal dari luar untuk dapat melakukan kontak ke pelabuhan di perairan sungai menggunakan sampan kecil. Sebagai contoh kapal-kapal berusaha memasuki sungai Musi untuk mengunjungi kota Palembang, tetapi untuk bisa sampai ke muaranya mereka menggunakan perahu kecil, termasuk di pelabuhan Surabaya pada abad ke-15 kapal besar dari Cina menggunakan perahu kecil untuk menjangkau muara terdalam.

Alur memasuki wilayah pelabuhan memiliki kesulitan yang berbeda, di beberapa tempat termasuk di Aceh. Setelah melintasi jalur pelayaran, para pengunjung pelabuhan harus mengetahui tempat tersebut sehingga bisa jangkar bisa di turunkan.  Selain itu sepanjang sungai terdapat benteng lengkap dengan senjata yang mengawasi lalu lintas di muara sungai.
 
Perkembangan pelabuhan juga dipengarui faktor lain seperti kondisi pasang surutmisalnya gerak air pasang di pantai barat Kalimantan berbeda di Kepulauan Lingga. Kemudian bentuk pantai yang membagi Kepulauan Indonesia menjadi dua bagian, serta faktor alamiah iklim dimana adanya angin musim menentukan pelayaran setempat dan mempengaruhi frekuensi kunjungan ke pelabuhan.

2.      Organisasi Pelabuhan
Pada setiap pelabuhan salah satu posisi yang memiliki peran penting yaitu Syahbandar. Masing – masing kerajaan menempatkan jumlah syahbandar tergantung kepada kebutuhan pelabuhan itu sendiri, sebagai perbandingan pada masa emas pelabuhan Malaka memiliki empat orang Syahbandar, kemudian pelabuhan Banda Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda memiliki empat juga. Berbeda dengan pelabuhan Jepara hanya menggunakan seorang saja. Tugas utama dari Syahbandar adalah mengurus dan mengawasi perdagangan orang yang dibawahinya.

Terdapat beberapa fakta menarik mengenai Syahbandar, seperti posisi ini biasanya mereka diangkat dari kalangan saudagar-saudagar asing. Pernyataan tersebut terlihat pada abad ke-17 pelabuhan Nusantara dikuasai oleh keturunan asing seperti Syahbandar Martapura pada tahun 1635 bernama Godja Babouw keturunan Gujarat, kemudian pada tahun 1692 syahbandar merupakan keturunan Tionghoa. Di Jepara pada tahun 1616 sampai 1619 juga merupakan keturunan Tionghoa, sepanjang 1605 sampai 1626 di pelabuhan Gresik dan Jaratan juga seorang Tiongha. Fakta mearik berikutnya yaitu salah satu tolak ukur memilih syahbandar adalah saudagar yang paling kaya.

Meskipun sebagai pejabat yang menguasai lalu lintas perdagangan syahbandar tidak diberi gaji oleh raja tetapi penghasilannya diperoleh dari penghasilan bea cukai, selain itu peran lain yang dimainkan adalah dalam tatanan politik mereka yang dekat dengan raja akan diberikan hak ekslusif untuk terlibat dalam dewan kerajaan.

Selain Syahbandar ada beberapa jabatan dalam organisasi pelabuhan seperti di Malaka terdapat Tumenggung sebagai yang mengepalai Syahbandar, sedangkan yang berhubungan dengan kapal perang dan awaknya dibawah perintah Laksamana. Pada wilayah pesisir Mataram sendiri masing-masing dikepalai oleh Bupati dan kota jepara dikepalai oleh Kyai Lurah.

3.      Sistem Pemungutan Bea Cukai
Setiap pungutan yang dilakukan oleh pelabuhan memiliki tarif yang berbeda termasuk perbedaan pada jumah barang, asal barang dan menurut negeri asal pedagang, termasuk jenis agama yang dianut. Tome Pires memberikan gambaran mengenai proses pemungutan cukai di beberapa pelabuhan, seperti di pelabuhan Malaka yang menerapkan bea impor sebesar 6% untuk negeri Arab, India, dan Sri Lanka. Selain membayar bea cukai, pedagang juga diberikan kewajiban untuk membawa barang persembahan. Untuk melancarkan perdagangan terkadang para saudagar memberi tambahan bayaran sebagai alat bujukan kepada raja dan pegawai kerajaan. Sedangkan barang yang keluar dari Malaka tidak dikenakan pungutan bea ekspor, tetapi wajib membayar ongkos timbangan 1% untuk semua barang yang masuk dan keluar.


Pengunjung eropa pada zaman pelayaran abad ke-17 melaporkan mengenai sistem pungutan di pelabuhan Aceh yang memiliki pungutan pajak berbeda antara pedagang Muslim dan Nasrani. Di Jambi tidak memungut bea impor tetapi memberi pungutan beaekspor lada sebesar 10%. Berbeda di Jepara yang membebaskan dari kewajiban membayar bea impor dan ekspor.

Terdapat juga perbedaan pengambilan pungutan di masing-masing pelabuhan Banten, Timor, Gresik, dan Maluku. Belum banyak juga yang bisa memberikan gambaran mengenai pelayaran dan perniagaan masa kini sehingga tidak memberi keterangan lengkap tentang seluruh pelabuhan di Indonesia, menjadikan hal demikian tantangan bagi sejarawan untuk dapat mengungkapkan puzzle yang belum lengkap tersebut.


  

     





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Opu Daeng Risaju: Lentera Terang Pejuang Perempuan Sulawesi Selatan

Jejak Peristiwa 1 Januari

Kilas Balik Kereta Api di Tanah Celebes